Dear Clarita,
Aku sudah menerima pesan singkatmu tadi pagi. Pesan
singkatmu sampai sekitar pukul 4 pagi ketika aku sudah tertidur pulas setelah
semalam menonton sepakbola. Maaf aku tidak bisa ikut bersamamu ke Malang. “Kita
kan belum pernah pergi bareng!” kata mu. Aku selalu ingat itu dan mampu
memperagakan gimmick selayaknya
dirimu.
Aku memang jahil suka membuatmu marah, sebel, cemberut dan
entah hal-hal yang bisa mengubah raut wajah mu. Ya tapi itulah aku pribadi yang
tidak bisa diam. “Kamu tuh!” kata-kata mu yang selalu terlontar ketika aku
jahil.
Kemarin aku mengantarkan ke stasiun ketika Jogja habis
diguyur hujan deras. Laju sepeda motorku santai melintasi aspal yang basah. Dua
jam lagi kamu sudah harus berada di kereta yang akan membawamu liburan
semester.
Aku jadi teringat seorang kawan yang berkata, “PT KAI melupakan romatisme perpisahan di stasiun”
begitulah kata-katanya. Benar juga semenjak diberlakukan peraturan bahwa
pengantar tidak boleh masuk area keberangkatan romantisme semacam itu pudar
bahkan hilang. Dulu sering aku lihat beberapa orang tergopoh-gopoh masuk ke
peron mengantarkan belahan jiwanya. Atau lambaian tangan dari atas gerbong
dengan senyum terkembang.
Clarita, pergilah sana bawa semua bebanmu dan buanglah di
kawah Bromo. Teriaklah di salah satu bukit di Batu atau naik wahana di Jatim
Park kemudian teriaklah, buang bebanmu di liburanmu yang aku yakin sudah kamu
tunggu-tunggu sejak awal kuliah. Dan kembalilah kepadaku dengan perasaan dan jiwa
yang baru.
untuk @cdiorisa
uchhh how sweet :)
BalasHapus