Minggu, 03 April 2011

Bapak Penarik Gerobak

Mas, meriko jedulipun pundi? Nek meriko?

Lha, Bapak badhe tindak pundi?

Itulah sedikit cuplikan awal obrolan saya ketika sedang berteduh tadi sore ketika akan berangkat menggambar sore. Seorang bapak bertubuh tidak terlalu tinggi, berkaos lusuh dengan celana pendek bertanya kepada saya dengan bahasa jawa yang halus.

Bapak itu bertanya tentang arah ke Pasar Pahing, kebetulan saya tahu pasar tersebut. sebuah gerobak berisikan meja-meja berukuran sedang menjadi barang bawaannya. “lha, saking pundi Pak?”, “Kula saking Warung Boto, niki bar mubeng tekan pasar telo”. Profesi Bapak ini adalah penjual meja yang dibawa dari kampungnya, Desa Dlingo, Bantul. Awalnya, beliau membawa sepuluh buah meja dan sekarang barang dagangannya tinggal tiga buah. Tidak akan pulang sebelum barang dagangannya habis, beliau bercerita sudah satu minggu turun ke kota.

“Lha, wau dhalu sare pundi, Pak?”, “Kula sare Kotagede, mas”.

Perjalanannya menuju Pasar Pahing tertahan oleh hujan yang sedari Ashar mengguyur Jogja. Tidurnya pun tergantung ketika dimana langkahnya berhenti. Beliau banyak bercerita, mulai tentang warung makan murah yang sering disinggahinya. “Cedak pojok beteng, nggih wonten mas, terus nika sing cedak pasar telo” jelasnya. Dari obrolan tersebut, saya menangkap beliau berusaha mengirit segala bentuk pengeluaran ketika bekerja. Mencari tempat makan pun yang berharga miring. “Nate kula jajan teng rika, awis mas” kata beliau. “Awis pripun pak?” Tanya saya. “Sega Ayam mawon sanga ewu” terang Beliau. Tak jarang beliau salah memilih tempat makan.

Hujan semakin deras, saya pun bergegas pulang setelah menerima sms dari Desta. Acara menggambar sore tidak jadi diadakan. Tak lupa saya pamit kepada bapak itu. Semoga hujan cepat reda, sehingga Bapak itu bisa melanjutkan perjalanannya.

*pola tulisan kali ini terinspirasi dari Tonggos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bajak