Senin, 03 Januari 2011

Day #3 Konflik Suporter Belum Habis

Pertandingan yang mempertemukan tuan rumah Persis Solo dengan PSIM Jogja dalam lanjutan divisi utama, memang sarat makna. “Derby Mataram” terminologi yang dibawa ke dalam sebuah film dokumenter garapan dosen Fisipol UMY. Menjadikan suatu keharusan untuk memenangkan laga tersebut. Ibaratnya jangan sampai kalah, bolehlah PSIM atau PERSIS kalah dengan tim lain namun dalam pertandingan ini gengsi tersebut begitu tinggi.

Konflik suporter yang terus mengakar dan seakan tidak pernah akan berhenti menambah panasnya partai ini. Nyanyian yang diteriakan oleh Pasoepati pada setiap pertandingan Persis Solo tentang kebencian terhadap Brajamusti ataupun Jogja sudah menjadi menu utama. Sama hal-nya Brajamusti yang selalu menyanyikan tentang kebencian terhadap Pasoepati. Pencitraan itu tertuang dalam atribut berupa kaos dan syal yang isinya saling membenci satu sama lain. Bung Ferry pentolan The Jakmania dalam tulisannya, awalnya dia sangat melarang anggotanya untuk menggunakan atribut yang memprovokasi (Viking). Selain itu nyanyian yang menghujat Viking hanya dilakukan ketika Persija bertemu dengan Persib. Selain bertemu Persib, Bung Ferry mengisyaratkan jangan menyanyikan lagu itu. Namun akhirnya semakin banyak orang-orang yang tidak tahu tentang konflik antara The Jak dan Viking menjadi ikut-ikutan. Bertambahlah api permusuhan yang tidak akan menemukan titik temu perdamaian. Sama seperti konflik Pasoepati dengan PTLM (Paguyuban Tresno Laskar Mataram) yang "dilanjutkan" oleh Brajamusti. Seperti tidak ada kata damai dari kedua kubu ini.

Parahnya, permusuhan itu merembet ke permasalahan musik. Belum lama ini, ketika “Down For Life” band metal asal Solo tampil di Jogja. Sekumpulan Brajamusti datang dan merentangkan syal Brajamusti ketika mereka tampil di atas panggung. Aksi ini merupakan aksi balasan, ketika salah satu band hardcore Jogja bermain di Solo diperlakukan seperti itu oleh Pasoepati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bajak