Senin, 27 Juni 2011

Obrolan bersama Wildan Tentang Cara Menulis di Koran

Saya pertama bertemu orang ini ketika masuk kuliah pertama kali. Waktu itu kami berkumpul di Balairung UGM untuk mendengarkan kuliah dari Sri Sultan HB XI. Perawakannya gemuk dengan model rambut bob disertai kacamata berlensa tebal. Saya masih ingat tas ranselnya bertulisankan “Boys Are Toys” yang membuka obrolan saya dengannya tentang musik. Wildan Sena Utama, nama teman saya. Kali ini, saya kembali bertanya seputar tentang menulis. Terutama tentang menulis untuk media massa seperti koran. Tulisannya sering dimuat oleh beberapa Koran ternama. Berikut pertanyaan yang saya dengan Wildan;

Halo Dab, kamu termasuk aktif menulis untuk Koran nih. Ceritakan tentang awal kamu menulis, sejak kapan sih?

Tentang masa awal saya menulis di koran ketika saya baru masuk kuliah, saya waktu itu menulis tentang Sumpah Pemuda untuk koran Seputar Indonesia, itu tulisan pertama saya untuk koran dan alhamdulillah diterima. Padahal isinya setelah saya baca-baca lagi sekarang, jujur saja begitu amburadul dan tidak terstruktur.

Tulisan seperti apa yang kamu suka?

Tulisan yang saya sukai adalah bentuk esai atau artikel populer tidak begitu ilmiah, kurang lebih begitu. Makanya saat membuat skripsi saya dikritik habis-habisan oleh pembimbing saya Prof.Dr. Bambang Purwanto mengenai mana "tulisan ilmiah" dan mana "tulisan bukan ilmiah".

Agar tulisan kita bisa tembus ke media cetak, hal-hal apa saja yang harus diperhatikan?

1. Pahami karakter korannya, setiap koran mempunyai ciri khas, segmen pembaca, substansinya tersendiri

2. Buat tulisan yang runtut antar pragraf atau paling tidak tiga paragraf awal itu harus runtut, "itu salah satu nasehat dari wartawan kepada saya". Tapi biasanya tulisan para pakar kadang-kadang meloncat sana-sini -- tapi mereka enak karena mereka pakar jadi sejelek apapun tulisannya pasti diterima.

3. Utamakan memuat solusi atau tulisan mempunyai dimensi analisis

4. Terus menerus menulis karena semakin kita terus menulis secara tidak disadari tulisan kita akan semakin bagus dari hari ke hari, dari tulisan ke tulisan. Menulis menurut saya tidak memerlukan bakat hanya sebuah ketekunan. Sama seperti bermain gitar bukan ?

Kamu sering nulis dibeberapa koran, certain dong tentang sifat koran-koran yang sering memuat tulisan Kamu?

Kebanyakan tulisan saya dimuat di Seputar Indonesia, mengapa saya menulis disana tentu ada misinya (1) Media nasional (2) Sehingga tulisan kita bisa lebih dibaca banyak orang, jujur saja saya kaget ketika ada orang yang mengutip tulisan-tulisan saya di koran dan ada yang mengatakan bahwa mereka tercerahkan dengan opini saya padahal saya tidak mengenal orang itu sebelumnya. Tapi ini bukan soal. Karakter Seputar-Indonesia itu memuat tulisan yang kritis tapi tidak berapi-api dan beremosi tetapi tetap beretika dan cerdas. Lalu, mereka juga kebanyakan menerima -- ini pandangan pribadi -- tulisan-tulisan yang mempunyai solusi. Kalau Kompas saya melihat bahwa mereka menerima tulisan yang terutama diutamakan dari seorang pakar makanya jujur saja mahasiswa agak kesulitan untuk menembus disana. Karakter mereka tulisannya kebanyakan mempunyai analisis yang cerdas bukan analisis yang umum diketahui.

Apakah ada ritual khusus sebelum memulai menulis terlebih tulisan yang akan dikirim ke media cetak?

Gak ada, cuman minimal baca koran terus, baca buku dengan tema terkait untuk mengutip pendapat yg lebih ahli dan tulis dimana kamu merasa paling baik mengerjakan tulisan

Pernah menulis dengan gaya tulisan kocak seperti tulisannya Raditya Dika? kamu senang dengan tulisan kocak seperti itu?

Jujur aja belum pernah, saya sebenarnya tidak terlalu tertarik kalau mempublikasikan tulisan seperti itu untuk koran tetapi kalau untuk jejaring sosial, oke-oke saja. Tapi kalau ketertarikan pribadi terhadap tulisan2 itu ada, karena saya menyukai humor, hahahaha. Daripada tulisan Raditya Dika entah kenapa saya lebih ketawa terpingkal-pingkal bila membaca Benny and Mice.

Kalau tulisan serius yang formal dengan bahasa bernas, kamu lebih suka tulisannya siapa? Alasan?

Penulis dari Indonesia favorit saya : Donny Gahral Adian, dosen Filsafat UI, Yasraf Amir Piliang, Dosen Kebudayaan ITB, Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keislaman. Terakhir, (alm) Kuntowijoyo, dosen kita sendiri. Alasannya silakan baca tulisan mereka dan rasakan kebernasan pemikiran yang mereka bawa dan sebarkan.


Bagaimana cara anda menaikan mood, ketika mood menulis sedang turun?

Mood menulis di koran saya rasa tidak ada.Mood untuk saya pribadi berpengaruh ketika kita menulis sesuatu yang berkelanjutan contoh skripsi atau buku barangkali.

Terakhir berikan kata-kata yang bisa’membakar’ teman-teman untuk aktif menulis, syukur-syukur rajin mengirim tulisan ke media cetak, biar ada saingannya gitu.

Saya menyadari arti kekuatan tulisan ketika saya berkuliah di jurusan sejarah UGM, saya melihat bahwa tokoh-tokoh dunia itu mempunyai pamor karena menulis butir-butir pemikirannya ke dalam buku. Tulisan pun menurut saya pada satu sisi bisa lebih tajam daripada sekedar aksi serampangan. Saya melihat kedahsyatan tulisan Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Soe Hok Gie yang membuat orang yang berada pada posisi dikritiknya menjadi gentar. Bisa kita lihat realitas yang baru-baru ini terjadi, dimana salah satu pakar tata negara menulis sebuah artikel di media nasional mengkritik tentang mafia di MK lalu tulisan itu menjadi heboh dan ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat panitia khusus. Menulis bukan hanya untuk hobi tetapi membuat pikiran kita tetap waras. Menulis bukan hanya sekedar menulis tetapi harus mempunyai manfaat bagi orang sekitar. Tanpa itu tulisan tidak akan punya makna apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bajak